Thursday, November 30, 2017

Melatih Kemandirian#1

Bismillahirrahmanirrahiim...
.

Alhamdulillah hari ini adalah hari pertama memasuki Game Level 2 tantangan 10 hari di kelas Bunda Sayang. Materi tantangan kali ini yaitu "Melatih kemandirian". Karena baru Fajri lah jagoan yang saya miliki satu-satunya untuk saat ini, maka dialah satu-satunya yang akan menjadi partner saya.
.
Jujur...harus saya akui, selama ini saya terlalu menganggap jagoan saya masih seorang anak kecil yang segala sesuatunya harus saya bantu mulai dari bangun tidur hingga dia terlelap kembali, agar dia tidak merasa kesulitan. Namun ternyata semua itu salah besar!!
.
Ya, dengan terlalu sering saya layani keperluannya membuat dia kurang mandiri dan terkesan manja. Bahkan sore hari, beberapa jam setelah mendapatkan materi tantangan di kelas Bunsay, saya dan Paksu sempat berdiskusi untuk membicarakan tantangan ini. Terus terang, sepertinya saya tidak akan mampu melakukaknya sendirian tanpa suport dari paksu. saya termasuk orang yang elehan". melihat Saya sering luluh dengan rengekan fajri tatkala saya memintanya untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya bisa dia lakukan sendiri.Saya sering mengambil jalan pintas untuk menghindari drama yang terjadi manakala dia menolak perintah saya untuk melakukan aktifitas yang sesungguhnya melatih kemandiriannya. Dari hasil diskusi tersimpulkan bahwa sayalah kunci utama keberhasilan dalam tantangan pada game level 2 ini. Dan saya sempat merasa putus asa...mampukah saya melewati tantangan ini dengan sempurna??
.
Namun dari hasil disupport yang teman-teman alirkan di kelas bunsay ini cukup membuat saya tidak merasa sendiri menghadapi keterlambatan ini, saya masih memiliki kesempatan untuk melatih kemandirian jagoan saya. Insya Allah....it's not too late. Dengan mengucap basmalah dan support dari paksu juga yang menguatkan saya. Bukan hasil yang harus menjadi pusat perhatian, melainkan proses. "Kita nikmati prosesnya bersama-sama. Bunda senang, anak tidak tertekan...sama-sama happy, Insya Allah hasil tidak akan mengkhianati proses", begitulah support dari paksu.
.
Maka tantangan kali ini menjadi momen untuk saya agar melibatkan ananda dalam mengurus kebutuhannya sendiri untuk kemudian dapat melibatkannya dalam pekerjaan rumah. Dengan harapan, minimal dia dapat mengurus dirinya sendiri tanpa bergantung pada orang lain. Dengan begitu kelak ia akan menjadi pemimpin yang tangguh memimpin keluarganya sebagai miniatur terkecil dari negaranya, bangsa dan negaranya namun juga tidak segan untuk turun tangan membantu istrinya dalam meringankan pekerjaan rumahnya. Aamiin....Aduh...kejauhan nggak ya ini harapan....hihi
.
Karena kuncinya ada di saya, maka saya harus benar-benar konsisten, dapat terus memotivasi dan menjadi teladan bagi keberhasilan jagoan saya.
.
Langkah pertama yaitu diskusi. Fajri saya sounding untuk sudah mulai mengambil jatah makan sendiri tanpa bunda layani kemudian makan sendiri dan mencuci piring bekas makan sendiri. Walau sempat terjadi negosiasi yang alot namun akhirnya fajri setuju. Walau terkesan borongan, namun saya yakin diusia Fajri yang sudah menginjak 10 Tahun, dia sudah mampu melakukan tiga skill itu satu paket hanya tinggal pembiasaan saja. Daaaan....walau melalui drama wara wiri hingga tak sempat ambil gambar dari kegiatan yang dilakukan jagoan saya hari ini, the activity done! ambil nasi dan menu makan yang dia request kan yaitu ceplok telor, kemudian makan berjamaah bersama ayahnya dengan duduk tertib (tanpa nyambi--maen game atau nonton video), dilanjutkan dengan mencuci piring dengan teladan sang ayah. dan saya bertugas memastikan sabun cuci piringnya tersedia dan menyiapkan sabangku kecil (jojodog--sunda) karena wastafelnya masih agak lebih tinggi dari badan sang jagoan hihi...and finaly, menyimpan piring bersih ke rak piring.
.
Alhamdulillah 'ala kulli haal...terimakasih ya nak, thank you my husband...big hug for you all...

Kota Angin, 30112017

#Harikesatu
#Tantangan10Hari
#Level2
#KuliahBunSayIIP
#MelatihKemandirian



Saturday, November 25, 2017

Aliran Rasa Ilmu Komunikasi Produktif Game Level 1


Sungguh....10 hari menjalani tantangan pada game level 1 di kelas bunda sayang IIP bagai naik roller coaster bagi saya. Betapa tidak, jagoan kesayangan bunda yang kini genap berusia 10 tahun menjadi partner central dalam mengimplementasikan ilmu komunikasi produktif ini benar-benar mengajak saya pada deg-degan tingkat dewa. Dialah buah hatiku yang menjadi "kelinci percobaan" pertama ilmu komprod ini. Sebab, bagi saya indikator pertama dalam list keberhasilan ilmu komprod ini adalah meminimalisir "ketegangan" daya dan jagoan saya.

Sungguh....ilmu komprod yang disajikan di kelas ini bak "ajimat" dalam melunakkan ketegangan diantara kami. Benang merah yang dapat saya ambil dari ilmu komprod ini yang paling utama yaitu berfikir positif terhadap apapun yang anak lakukan, tidak tergesa "menjudge". Baru jika kita sudah bisa berdamai dengan diri maka berkomunikasi dengan anak juga akan "empuk". pertama adalah stabilisasi emosi sang bunda. Kedua, intonasi suara. Ketiga, pemberian pujian yang proporsional. Ah...ilmunya daging semua....

Sungguh....mereguk ilmu di game level 1 ini benar-benar membuat mata semakin terbelalak dan semakin haus terasa...semakin diri merasa kerdil namun kekerdilan itu membuat diri semakin bersemangat untuk do better and better...ah...speecless....

Last but not least...
Kuhatur syukur yang tiada terkira pada rabbku yang Maha Segalanya, terimakasih tak terhingga pada paksu,partner hidupku dunia&akhirat (aamiin), sayang yang semakin tiada bertepi pada buah hati belahan jiwa bunda. Terima kasih kepada teh Maesaroh, fasil kelas bunsay batch#3 serta teman rasa saudara di kelas ini yang terus tanpa lelah memberikan semangat untuk diri terus belajar tanpa henti. Ah...I am so proud tobe part of you all..

Huallahua'lam bishawwab..

Kota Angin, 25112017

Sunday, November 12, 2017

Menunggu

"Menunggu merupakan pekerjaan yang paling melelahkan". Mungkin sering kita mendengar kata-kata demikian dan memang benar adanya. Seperti sore tadi. Ceritanya hari ini adalah jadwal kumpul keluarga besar dari ayah yang biasa terjadwal setiap 2 bulan sekali. Tempatnya bergilir berurutan dimulai anaknya kakek yang paling besar hingga berakhir di kediaman cucu kakek yang paling terakhir menikah.
.
Hangat,asyik dan akrab...tiga kata yang pantas kulabelkan untuk kesan dari setiap pertemuan yang kami singkat menjadi Per-Rut kependekan dari Pertemuan Rutin.
.
Karena di pertemuan dua bulan lalu saya tidak bisa hadir dikarenakan siswa Creative English Course yang kudirikan mengadakan ujian akhir dari setiap level. Dan pada pertemuan kali ini bertepatan dengan ujian akhir pada Lembaga Kursus AP Komputer yang dikelola oleh pak suami. Nah..karena alasan demikian maka kami memutuskan bahwa yang hadir pada pertemuan kali ini adalah saya.
.
Pertemuan ini diadakan di rumah paman saya di sebuah kota yang identik dengan patung kudanya. Sebuah kota sejuk yang dikelilingi oleh gunung Ciremai yang menjulang. Karena pak suami tidak dapat menemani dan saya belum mahir membawa kendaraan roda empat keluar kota maka walau agak bete saya putuskan untuk naik kendaraan umum.
.
Acara demi acara berjalan dengan lancar hingga tiba saatnya berpamitan. Jam menunjukan pukul 15.00 dan perjalanan menuju kotaku dua jam dengan dua kali ganti elf. Jam 16.00 kuhubungi ponsel pak suami dan minta beliau untuk standby satu jam kedepan. Beliau menyanggupi.
.
Tiba di tempat yang kami sepakati untuk beryemua, tunggu punya tunggu pak suami tak kunjung datang. 15 menit berlalu kucoba menghubungi beliau namun lagi-lagi ponsel tak ada sahutan. Hari mulai gelap dan hati mulai dongkol. Ingin rasanya teriak mengadukan rasa lelah dan penat perjalanan. Jm menunjukan pukul 17.45 sambil terus kucoba menghubungi pak suami yang hasilnya tetap nihil..kubuka aplikasi Facebook. Satu persatu status teman-teman kubaca. Hingga sampai pada tulisan teman seperjuangan di Ikelas bunsay ini yang bercerita tentang kemampuan ibundanya dalam meredam amarah dan rasa jengkel ketika sang ayah yang telah berjanji sepulang kantor menemani ibundanya ke ondangan. Tak ada amarah apalagi cacian yang keluar dari mulut ibundanya untuk suaminya. "Coba deh masalah itu dibikin simpel, nggak usah ngabisin energi hanya untuk hal-hal yang sebenarnya bisa saling memahami dan memaafkan. Ayahmu pasti punya alasan membatalkan janjinya pada bunda" begitu kira-kira yang disampaikan bundanya teman saya.
.
Ah...tulisan yang menohok...kenapa selama ini saya selalu melihat hal-hal yang tidak berkenan dengan keinginan menjadi sesuatu yang "wah"?? Jika masih bisa dibikin simpel kenapa harus dibikin ribet??
.
Usai membaca status teman tersebut, saya tarik nafas dalam, saya hempasan semua beban yang sebelumnya siap meledak. Ah...harus saya coba dan saya pasti bisa!!
.
Kucari mushola terdekat untuk menunaikan shalat Maghrib. Tak lama kemudian pak suami menelepon dan menyatakan permintaan maafnya, ternyata hp pak suami sedang dicharge dan pukul 17.30 beliau masih sibuk melayani peserta kursus yang melaksanakan ujian akhir. Dengan cemas beliau bertanya "bunda sekarang dimana? Bunda baik-baik saja kan?"
"Alhamdulillah bunda baik-baik saja, ayah. Bunda nunggu di mushola dekat tukang nasi goreng langganan kita sambil sholat Maghrib dulu".
.
Dan benar, selepas Maghrib pak suami dan jagoan saya menjemput. Saya sambut dengan senyuman. Makan malam di tukang nasgor langganan kami diiringi tawa ceria.
.
Ah...seandainya tadi saya 'muntahkan' rasa dongkol dan kecewa, mungkin makan malam kami tak seindah malam ini.
.
Alhamdulillah, pengendalian emosi diri..Done!
.
Terima kasih pak suami dan jagoan bunda..Kalian harta berharga yang bunda miliki...kalian bahagianya bunda...semoga kita dapat berkumpul hingga ke surga...Aamiin...

Fabiayyi alai robbikuma tukadziban

Kota Angin 12112017

#hari11
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kelasbunsayiip

Saturday, November 11, 2017

Kumpul Para Cucu

(Azam, Ayang, Syafieq, Fajri)

Alhamdulillah pagi hari ini sewaktu bangun tidur badan sudah agak enakan, sudah tidak demam dan sakit kepala lagi tingga flu dan batuk yang biasanya memang agak awet. Weekend kali ini kami kedatangan adik ipar yang tinggal di Jakarta. Ia datang bersama suami dan anaknya yang baru berusia 2 tahun.
.
Kedatangan mereka membuat ramai suasana rumah kami yang kebetulan satu atap dengan mertua. Ketika para cucu mertua saya (Fajri 10y, Azam 9y, Ayang 5y dan syafieq 2y) sedang asyik bermain melepas rindu, saya menghampiri mereka. Saya tahu, jagoan saya suka gregetan sama syafieq, bahkan saking gregetannya tidak jarang setengah memaksa untuk sun sayang atau menjembel pipinya sampai merah bahkan sampai si anak kecil menangis. Dan jelas itu membuat ibunda syafieq jengkel. Untuk menghindari drama bentak dari ibunda syafieq (saya memaklumi dan berhusnudzon mungkin dia belum memiliki ilmunya sebagaimana saya sebelum mengenal IIP) atau kata-kata yang membuat si jagoan makin 'menjadi' maka saya dampingi mereka bermain sambil tak lupa selalu sounding jagoan saya untuk berlemah lembut sebagai tanda sayang kepada adik-adik spupunnya.
"aa soleh, lemah lembut ya..." ucap saya manakala mulai terlihat si jagoan gregetan.
"aa soleh, lemah lembut tanda sayang"
"aa soleh, bunda ingin aa lemah lembut sama syafieq"
dan jawaban si jagoan "iya bunda"
.
Tapi bada isya ketika mereka (para cucu) sedang asyik bercengkrama lagi, terdengar tangis syafieq karena terlalu keras dijembel pipinya oleh fajri. Dengan intonasi suara rendah dan tatapan mata yang lembut, saya bilang, "a, kan bunda sudah ingatkan, boleh sun tapi dengan lembut. Syafieq kan masih kecil, kasian kesakitan"
"iya bunda, maaf aa berlebihan. abis greget sih syafieqnya lucu".
"iya tapi bukan berarti boleh keras-keras"
Saya segera menyuruhnya untuk meminta maaf kepada bundanya syafieq dan meminta janjinya untuk tidak mengulangi kesalahannya lagi.
bergegas jagoan saya minta maaf pada tantenya.
.
Done!
.
Jujur, dulu sebelum saya mengenal ilmu komprod dari IIP ini saya sering terbawa emosi manakala mendapati si jagoan membuat anak adik ipar saya menangis, antara malu kalau saya tidak bisa mendidik si jagoan dengan baik dan jengkel dengan perilaku si jagoan yang menggunakan kekerasan dalam bermainnya, tak jarang saya membentak si jagoan sebagaimana tantenya juga marah. Astaghfirullah...Ya Allah...ampuni saya...nak, maafkan bunda ya...
.
Kini, saya sadar, terkadang kita harus memberikan ruang maaf yang luas kepada orang disekitar kita yang merespon tindak tanduk anak kita dengan respon yang berlebihan dan tidak sesuai dengan ilmu parenting. Husnudhon dan tahan emosi. Kemudian sedikit demi sedikit kita transfer pemahaman mendidik anak agar generasi kita, generasinya dan generasi bangsa ini bukan termasuk generasi yang terbiasa dengan kekerasan verbal sehingga kekerasan verbal itu turun temurun mereka lakukan lagi pada generasi dibawahnya. Kalo bahasa lainnyamah "bullying" alias mengolok-olok.
.
Tidak sedikit saya dapati anak-anak di sekitar rumah yang dengan seenaknya membuly kesalahan temannya dengan kata-kata kasar seperti yang orang tua mereka contohkan. Semoga pendampingan saya dalam menyeleksi lingkungan bermain, teman-teman bermainnya dan aktifitas yang dilakukan jagoan saya tidak termasuk sesuatu yang berlebihan, melainkan saya sedang meminimalisir bentuk kekerasan verbal yang ditularkan teman sepermainannya kepada jagoan saya. Semoga Allah rihdo.
.
Huallahu 'alam bishawwab...

Kota angin, 11112017

#hari10
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Friday, November 10, 2017

Meriang

Hari ini tak banyak waktu yang bisa saya habiskan bersama jagoan saya. Rasa mual, pusing, demam, batuk dan pilek menjadi penyebabnya. Sebenarnya sejak bangun tidur saya merasakan ada yang tidak beres dengan tubuh saya, namun karena rutinitas pagi yang memaksa tubuh ini untuk tetap bergerak. Jelang siang, rasanya saya  tubuh ini semakin sulit diajak kompromi terutama kepala yang terasa semakin berat, sepertinya tubuh meminta haknya untuk beristrahat. Maka saya meminta izin pada guru piket di sekolah untuk pulang mengajar lebih dulu. Sampai d rumah tubuh ini langsung ambruk diatas kasur hingga terbuai mimpi. Ba'da shalat jum'at pak suami membangunkan dan mengingatkan saya untuk segera melaksanakan shalat dzuhur. Dengan kepala masi terasa berat saya menunaikan shalat dan makan siang ditemani pak suami.
.
Karena saya tidak biasa mengkonsumsi obat-obatan warung maka sore ba'da ashar dengan ditemani pak suami kami pergi ke dokter terdekat. pulang dari dokter sekitar jam 17.00 disambut si jagoan dengan beberapa pertanyaan, "Bunda sama ayah pulang dari dokter?"
"Iya a, bunda demam".
Sejenak ia tempelkan punggung tangannya ke dahi saya seperti yang kerap saya lakukan bila demam menyerangnya, dengan raut khawatir jagoan saya berujar, "Iya bunda demam".
"Bunda udah makan?"
"belum", jawab saya.
"Mau aa beliin bubur?"
"Aa mau beliin buat bunda?"
"Iya bun, aa beliin ya?"
Saya mengangguk dan menyuruhnya untuk meminta uang pada ayahnya.
.
beberapa menit kemudia jagoa saya datang dengan semangkuk bubur ayam ditangannya.
"Bunda mau aa suapin?"
dengan senyum saya berkata, "nggak usah a, makasih ya sayang".
ia menunggui saya selesai makan dan dengan sigap mengambilkan air minum lalu menyuruh saya untuk segera meminum obat. "Diminum obatnya bunda, biar bunda cepet sembuh, jangan lupa berdo'a", nyess hati saya meleleh.
.
Ba'da maghrib sambil berbaring saya menyaksikan jagoan saya membaca Ummi dan murojaah hafalannya didampingi ayahnya. Mungkin pengaruh obat yang saya minum, ba'da isya saya langsung terlelap hingga saat saya menulis tulisan ini, jagoan saya sudah terbuai mimpi.
.
Walau tak banyak waktu yang dapat kami habiskan untuk berbagi cerita hari ini, saya begitu terenyuh dengan perhatian dan rasa empatinya. Semoga Allah senantiasa melembutkan hatimu, nak. Menjadikanmu lembut hati, tegar jiwa. Menjadikanmu manusia bermanfaat dibelahan bumi manapun kau berada.
.
Fabiayyi alaai robbikuma tukadzibaan...

Kota Angin, 10112017

#hari9
#gameslevel1
#komunikasiproduktif
#kelasbunsayiip

Thursday, November 9, 2017

KUJEK

Aa Fajri sedang menyebutkan jenis akar tanaman

Hari ini jagoan saya kebagian jadwal KUJEK (Kunjungan Edukasi) di sekolahnya ke SMK Pertanian. Seperti biasa, usai acara, wali kelas membagikan hasil jepretanya di Whatsapp grup orang tua kelas. Saya sangat mengapresiasi apa yang dilakukan wali kelas si jagoan. Karena dengan diterimanya foto kegiatan anak-anak memudahkan saya untuk membuka percakapan terlebih dahulu bila suasana hati si jagoan mendukung.
.
Fajri, anak ganteng yang baru satu yang saya miliki (semoga Allah segera memberikan saya dan pak suami amanah berikutnya...Aamiin) memiliki seabreg kegiatan yang Insya Allah positif. Mulai dari sekolah full day, dilanjut ekskul futsal, pramuka, tahsin, tahfidz, dll. Saya dan pak suami tidak pernah membatasi atau mengekang kegiatan yang ia lakukan selama kegiatan itu positif, bermanfaat dan sesuai dengan usia juga ketahanan fisiknya. Kegiatan yang dimulai sejak jam 06.10 (berangkat sekolah) dan berakhir pukul 15.30 (berada di rumah) otomatis membuat intensitas pertemuan kami tidak lagi sebanyak ketika usianya masih TK. Maka saya dan pak suami selalu mengkhususkan waktu ba'da ashar, ba'da maghrib dan ba'da isya sampai jam 21.00 sebagai our quality time, banyak ngobrol tentang apa saja yang kami lalui sepanjang hari di luar rumah. 
.
Dulu, sebelum tahu ilmu komprod dari kelas bunsay IIP ini, saya selalu memulai percakapan dengan pertanyaan "belajar apa hari ini di sekolah, a?" dan selalu pula  jagoan saya menjawab dengan jawaban  singkat dan terkesan ogah-ogahan, "ya, belajar banyak deh, bun". 
"iya belajar apa aja?"
"ih bunda, ya banyak atuh...udah ah males ceritanya"
ow..ow..ow...setelah tau ilmunya, ternyata pertanyaan saya termasuk kalimat tidak produktif. Tidak sesuai dengan kaidah Gantilah kalimat interogasi dengan pernyataan observasi".
.
Maka sore tadi ba'da shalat ashar ketia diluar hujan sangat deras, sambil ngemil-ngemil syantik, saya bertekad mencoba mengimplementasikan ilmu komprod ini pada jagoan saya. Bismillah...

Bunda dan jagoannya sedang ngobrol sambil ngemil-ngemil syantik

"a, di foto kujek yang dikirim ibu Meli kayaknya aa  keliatan malu-malu"
"mana bun fotonya?" jagoan saya penasaran, kuperlihatkan foto dari ponsel.
sejenak dia tersenyum.."oh.."
"kok mesem-mesem? lagi apa itu teh a?" kupasang raut dan intonasi penasaran.
"itu...lagi ditanya satu-satu tentang tumbuhan, aa salahnyebutin, harusnya akar serabut eh aa malah akar serubut hehehe"
aku ikut tersenyum, "lupa ya?"
"enggak, bukan lupa,bun. Keceletot hehehe"
kuusap rambut kepalanya.
"seru ya, a?"
"iya seru bun, ada orang jepangnya juga loh bun, tuh yang rambutnya ada poninya"
dan...mengalirlah cerita kujek siang tadi yang menyenangkan
.
Point nya adalah ketika kita bertanya to the point, anak akan merasa diinterogasi dan itu membuat dia malas bercerita lebih lanjut. Lain halnya jika kita mulai dari sesuatu yang kita lihat dari dirinya, melihat perasaannya, mengobservasi hatinya, maka anak akan enjoy bercerita bahkan sesuatu yang tanpa kita tanyakan.
.
Alhamdulillah...done!
.
Huallahu 'alam Bishawab...

Kota Angin, 09112017

#hari8
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Wednesday, November 8, 2017

Es Mosi


Cerita di hari keenam tantangan bunsay kali ini masih sama dengan hari-hari sebelumnya yakni mengendalikan intonasi suara dan gunakan suara ramah. Sepertinya bagian ini menjadi PR terberat bagi saya terlebih jagoan saya sudah berusia 10 tahun artinya seumur itu pula saya selalu menggunakan intonasi suara meninggi manakala tak sejalan anatara harapan dan kenyataan yang dihadapi dari jagoan saya...duh rabbi....ingin rasanya memutar waktu...maafkan bundamu ini yang terlambat berilmu dalam membesarkanmu, nak...
.
Namun kini bukalah saatnya untuk terus terlelap dalam penyesalan, bersungguh-sungguh itu kuncinya. Kelas Bunsay ini benar-benar menjadi re-start dalam mengimplementasikan teori-teori yang pernah diketahui dari berbagai seminar, buku atau pengetahuan seputar parenting lainnya. Karena point yang disajikan dalam kelas bunsay mencakup dari semua teori parenting.
.
Sekolah Fajri mewajibkan siswanya untk setoran membaca Ummi dan muroja'ah harian kepada pembimbing Ummi melalui whatsapp group yang dibentuk perkelompok. Hari ini merupakan hari ketujuh praktek saya dalam mengendalikan intonasi suara ketika mendampingi setoran jagoan saya. Seperti hari-hari sebelumnya, negosiasi alot terjadi.
Bunda : "Aa, tidak perlu tergesa-gesa, hafalkan dulu ayatnya dengan baik".
Tanpa menghiraukan nasihat saya, si jagoan asyik pencat-pencet HP sambil terus membacakan hafalannya.
Fajri     : "Ih, apa sih bunda ayat ketiganya?", tanyanya menghentikan rekaman.
Bunda  : "kan bunda bilang, hafalkan dulu ayatnya dengan baik, setelah benar-benar hafal baru direkam".
Begitulah cerocos saya setiap kali mendapati jagoan saya tidak sabar ingin langsung merekam murojaahnya kendatipun hafalannya tersendat-sendat. Alhasil, seperti malam ini, hafalan surat Al-Insyiqaq. Ketika jagoan saya menghafalkan ayat ke tiga , rekaman dihentikan karena dia lupa, untuk beberapa saat hal itu terulang.
.
Aaakh...beraaaat maaaak!!! sesak dada eykeu....rasanya pengeeeen banget bentak...tapi sabaaar...sabaaar....lagi latihan...hahaha
.
Mungkin karena efek intonasi bundanya yang lemah lembut dan tenang, jagoan saya mengikuti instruksi untuk menghafalkan lima ayat hafalannya tanpa merekam terlebih dahulu. Beberapa saat setelah hafalannya benar-benar baik diingat, ia merekamnya. Ada yang berbeda dari tujuh hari belakangan yang saya lakukan dibanding hari-hari sebelumnya. Saya berusaha untuk mempraktekan beberapa point sekaligus dari materi komprod kelas bunsay ini. Yakni KISS, pengenalian intonasi suara, mengatakan apa yang saya inginkan, bukan yang tidak saya inginkan, mengganti tidak bisa menjadi bisa, fokus pada solusi bukan pada masalah dan jelas memberikan pujian manakala jagoan saya berhasil menghafalkan hafalannya dengan baik.
.
Dan hasilnya sungguh terasaaa sekali perbedaannya. Jika dihari-hari biasanya pembacaan ummi dan murojaah selalu berakhir dengan drama tangisan jagoan yang merasa enggak enak dibentak-bentak bunda dan perasaan dongkol bunda yang merasa anaknya nggak nurut, alhamdulillah dalam tujuh hari implementasi komprod ini, endingnya senyum ceria si jagoan dan si bunda.
Bunda  : "Alhamdulillah....aa sudah ikutin instruksi bunda, mengahafal dulu, setelah benar-benar hafal, baru direkam dan hasilnya (saya acungkan jempol), bunda bangga sama aa". Kuusap rambut kepalanya.
Sssst....bahkan si jagoan bersedia ketika diminta brfose.....hahaha....
.
Alhamdulillah wasyukurillah 'ala kulli haal....Allah memudahkan saya untuk mengendalikan emosi. Sungguh, tidak ada yang mustahil jika kita bersungguh-sungguh!!

Huallahu'alam bishawwab

Kota Angin, 0811-2017

#hari7
#gamelevel1
#tantangan 10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip

Tuesday, November 7, 2017

Roti Abon

Pagi tadi wali kelas Fajri  mengirimkan beberapa foto kegiatan pagi anak-anak kami selepas membaca UMMI (metode tahsin yang digunakan di sekolah si jagoan) via Whatsapp group para orang tua kelas. Mereka sedang memakan roti yang dibagikan satu persatu oleh wali kelas, terlihat begitu ceria dan lahap.

Aa Fajri urutan kelima dari depan

Selepas shalat ashar sambil makan cemilan, jagoan saya mulai bercerita tentang kegiatannya di sekolah hari itu dan mengalirlah cerita tentang pembagian roti yang katanya lezat dan membuat ketagihan. Dipenghujung cerita si jagoan meminta bundanya untuk membuat roti abon seperti yang ia makan tadi pagi. Sebenarnya dalam hati saya bertanya, kok tumben, biasanya jagoan saya paling susah makan makanan berat seperti biskuit, roti, dsb, tapi kali ini malah minta dibuatkan.
"Bunda, buatkan aa roti abon dong", pintanya.
"Aa seneng sama roti abon?", ia mengangguk cepat.
Seperti mendapat momen tepat untuk memberikannya karbohidrat yang ia senangi, siapa tahu bisa membuat berat badannya bertambah hehehe....
.
Iya, saya kadang suka pusing sendiri sama si jagoan, nafsu makannya sedikit sekali padahal saya sudah mencoba membuatkan beberapa menu sehat yang ia sukai tapi tetap saja hanya beberapa icip yang dia coba. Sering saya bertanya pada jagoan saya apakah karena masakan saya yang kurang enak atau bagaimana. Biasanya jagoan saya memeluk saya sambil berkata, "masakan bunda enak kok cuma nggak tau nafsu makan aa kok kecil ya bunda, cepet kenyang". Sempat terlintas...jangan-jangan anakku cacingan? akh..masa sih? walau porsi makannya tidak banyak tapi dia tetap energik kok...(nah bagian ini entahlah..sepertinya bunda nggak rela kalau anaknya dikira cacingan, walau yang nuduh hati kecilnya yang super khawatir hehehe..)
.
Kembali ke cerita roti abon, berhubung bahan-bahan membuat roti yang saya miliki tidak lengkap ditambah waktu yang dimiliki pada hari-hari kerja sangat terbatas (yang ini cuma alasan doang hahaha...padahal si bunda belum bisa bikin roti...jiahhh) dan yang paling utama adalah ingin adanya keterlibatan jagoan dalam membuat roti (nah kalo yang ini beneran loh...) Maka kali ini saya mengajak jagoan saya ke rumah teh Nanny, tetangga yang sudah kuanggap saudara sendiri dan si jagoan memanggilnya tante Nanny, sang master dalam membuat kue-kue lezat. Kuutarakan maksudku dan teh Nanny  menyanggupi untuk membuatkan beberapa roti abon saat itu juga, kebetulan bahan-bahannya sudah tersedia dan beliau juga sedang tidak ada kesibukan. Teh Nanny itu selain pintar memasak juga amat menyayangi Fajri dan sudah menganggap Fajri sebagai anaknya sendiri. Sebelum kami beranjak ke dapur, teh Nanny bertanya pada Fajri beberapa pertanyaan terkait dengan kegiatan sekolah si jagoan. "Hafalan juz 'amma aa sudah sampai mana?" . "Alhamdulillah sekarang masuk surat Al-Buruj tante", jawab jagoan saya. "Oh berarti Al-Muthafifin sudah hafal ya?". "Insya allah tante, tinggal muroja'ah". "Coba tante mau dong mendengarkan aa muroja'ah surat Al-Muthafifin". Dan mengalirlah suara yang nyess (di hati bundanya) melantunkan surat Al-Muthafifin. "Alhamdulillah, hebat ya aa fajri sudah hafal Al-Muthafifin, murojaahnya juga lancar". "Baiklah, sebagai hadiah atas hafalan aa fajri, tante mau buatkan roti abon spesial buat aa, gratis!!!" Sontak senyum mengembang di bibirnya juga bibir bunda pastinya hahaha...Kemudian kami pergi ke dapur, Teh Nanny menyiapkan bahan-bahannya. Saya dan jagoan saya ikut bantu-bantu sedikit semampu kami. dan taraaa....... tepat jam 17.30 roti  abon pesanan si jagoan jadi juga.

Ba'da shalat maghrib sebelum mengaji dan muroja'ah saya tegaskan lagi kata-kata yang disampaikan teh Nanny sebagai apresiasi atas usahanya dalam membacakan surat Al-muthafifin dengan baik tadi di rumah teh Nanny.  ini juga merupakan materi komunikasi produktif dengan anak di kuliah Bunda Sayang IIP Jelas dalam memberikan pujian dan kritikan. Saya memluknya erat, "Bunda bangga aa sudah mau menjaga hafalan aa...terima kasih ya nak". Dan jagoan saya membalas dengan ciuman mendarat di pipi.
.
Tidak ada yang melebihi kebahagiaan bunda selain melihatmu tumbuh menjadi generasi qur'ani, nak. Generasi yang senantiasa membaca, menghafal, memahami dan mengamalkan Al-Qur'an di belahan bumi manapun.
.
Fabiayyi Alairobbikuma Tukadziban...

Kota Angin, 07112017

#hari6
#gamelevel1
#tangtangan10 hari
#komunikasiproduktif
#kuliahbunsayiip


Monday, November 6, 2017

Dear Friend

DEAR FRIEND….WHERE ARE YOU NOW??
Dhevi Fitriyani

“I would rather walk with a friend in the dark, than alone in the light.”
(Helen Keller)

          ARA! hanya tiga rangkaian huruf yang masih melekat dalam memoriku, selebihnya, kepalaku terasa penat mengingatnya. Mungkin aku termasuk teman yang tak tahu diuntung, Namun, kemanakah hendak kusampaikan rasa terima kasihku ini?!
 # # #
          Perawakannya imut dan gempal, dengan tinggi badan tak lebih dari 145 cm, kulit hitam manis, pipi chubby serta lesung pipi yang menghias senyumnya. Itulah gambaranmu yang masih aku ingat. Namun, itu 14 tahun yang lalu. Sekarang?? Entahlah….sepertinya aku mulai putus asa mencari keberadaanmu, Ara. Semua salahku!! Bermula dari hal sepele yang berakibat fatal hingga membuat persahabatan kita retak bahkan hancur berkeping-keping.
Saat itu, kami sama-sama tinggal di pondok pesantren khusus putri yang cukup terkemuka, bahkan gaungnya sampai ke manca negara. Aku dan Ara dipersatukan dalam asrama dan kelas yang sama. Tidak hanya itu, jika dilihat dari belakang, dengan seragam dan jilbab yang sama, postur tubuh kami pun tiada bedanya! Tak jarang, jika kami tidak sedang jalan bersama, orang lain salah panggil nama, itu sudah biasa. 
Berawal dari persamaan itulah kita bisa saling curhat manakala ada hal sedih atau gembira yang kita rasakan. Padahal, sebenarnya karakter kami berbeda, kamu yang periang dan terkesan ekstrovert sedangkan aku yang pendiam dan pemalu. Namun lebih dari itu, kita saling melengkapi. Kamu yang pintar bahasa Inggris dan aku yang bisa diandalkan untuk minggu berbahasa Arab. Ya, aku sama sekali tidak sanggup jika pada minggu bahasa inggris harus mengantri untuk mendapatkan jatah makan di dapur umum santri, karena, dapat kupastikan kakak kelas akan menyapa kami dengan bahasa Arab. Pun demikian dengan Ara, ia takkan cukup berani membeli makanan ringan di koperasi santri pada minggu berbahasa Arab.

Hari berganti bulan, bulan meninggalkan jejak hitungan tahun. Tak terasa satu tahun sudah kami saling menggantungkan diri untuk beberapa hal terutama dalam hal komunikasi. Kami terbuai dengan kenyamanan semu. Hingga akhirnya moment yang kami khawatirkan itupun tiba. Aku dan kamu harus berbeda asrama dan pisah kelas! Sudah merupakan tradisi tahunan pesantren untuk mengadakan rolling kelas dan asrama santrinya dengan tujuan agar dapat membaur dengan sekian ratus santri dalam beberapa angkatan yang ada di pesantren ini. 
Walau sudah berbeda asrama, namun ketergantungan kami agaknya belum mau berkurang. Tepat disamping mading santri yang berada di depan masjid pesantren itulah tempat kami saling menunggu pada jam makan tiba. Biasanya, aku pura-pura sedang membaca tulisan-tulisan di mading jika tengah menunggunya.
Dua bulan berlalu, kami masih bisa menikmati kebersamaan ini, namun pada bulan ketiga di tahun kedua masa SMA ini, baik kamu ataupun aku sering terlambat ke “tempat rahasia” kita. Ya, tempat rahasia! Karena hanya kau dan aku yang tahu.    
Satu-dua kali kami masih bisa saling maklum. Namun seiring dengan waktu, sepertinya kami memiliki jadwal yang berbeda. Egoisnya, kamu dan aku tidak pernah mengkomunikasikan hal ini! Rasa marah dan kecewa hanya dipendam masing-masing dan aku tak tahu, ternyata kamu yang lebih sering menungguiku di tempat itu, hingga tak jarang melewatkan makan siang demi menungguiku sampai tiba waktu masuk kelas kembali.
Suatu hari selepas solat ashar, kamu pura-pura tak melihatku manakala kita berpapasan didepan kantin sekolah. Aku panggil namamu, tapi kamu bergegas meninggalkanku tanpa sepatah katapun. Glek! Apa yang terjadi? Cepat kusejajari langkahnya sambil terus kupanggil namanya. “Ara? Kamu kenapa sih?”, tanyaku setengah berbisik seraya kutarik tangannya. Ara berbalik dengan sorot mata tajam penuh amarah, “Harusnya aku yang bertanya, kenapa kamu selalu meninggalkan aku untuk makan siang? Bukankah kesepakatan kita untuk saling menunggu? Kalau memang sudah punya teman baru dan kamu udah nggak butuh aku, ya sudah!! Cerocosnya dengan volume suara setengah ditekan khawatir ada ‘jasus’1 lewat.
“Ini hanya salah faham, Ra”, ucapku mencoba menjelaskan.
“Alaaah…sudahlah. Mulai saat ini kita masing-masing saja…aku juga bisa belajar Bahasa Arab tanpa kamu!!
Dengan setengah berlari, Ara bergegas pergi meninggalkanku
Walau sedih, akan kubuktikan bahwa aku juga bisa hidup dengan bahasa inggris tanpamu, Ara!
Mulai hari itu, aku terus belajar, menghafal berbagai kosakata untuk digunakan diberbagai tempat. Alhamdulillah, hasilnya tidak mengecewakan. Aku mulai berani bercaka-cakap dengan kakak kelas -yang kadang mereka hanya menguji kemampuan berbahasa adik kelasnya- bahkan, tak sedikit dari mereka yang menjadi spy1 bagi siapa saja yang tidak memanfaatkan minggu berbahasa. Aku juga mulai percaya diri untuk mengikuti lomba pidato bahasa inggris antar angkatan. Kala itu, aku menjadi salah satu kontestan yang bersaing dengan Ara. Walau kemenangan belum berpihak padaku, namun, aku cukup senang.
Hampir satu tahun berlalu, aku dan Ara masih belum saling sapa. Walau sebenarnya berbagai upaya sudah aku usahakan agar pertemanan kami membaik, hasilnya nihil. Entah kekesalan Ara yang mana lagi yang membuat dia begitu membenci aku. Sudah kucoba bertanya pada teman sebangku Ara, barangkali dia pernah curhat tentang kekesalannya padaku, temannya bilang, Ara tidak pernah bercerita tentangku bahkan dia selalu mengalihkan pembicaraan jika temannya mulai bertanya tentang hal itu. Ujung-ujungnya, malah teman sebangkunya yang balik bertanya, “sebenarnya ada masalah apa sih dengan kalian?” kunaikan dua bahu, dengan dua telapak tangan terbuka serta alis yang terangkat, “entahlah…”
Tak terasa, sudah dua kali perpindahan asrama yang diadakan rutin di pesantren kami. Kini menginjak tahun ketiga, aku diberi amanah sebagai pengurus Organisasi Santri di bagian Bahasa, sedangkan Ara di bagian Kepramukaan. Intensitas pertemuan kami semakin berkurang seiring dengan kesibukan masing-masing yang berbeda.
# # #
Suatu hari ayahku datang menjenguk. Kali ini tanpa meminta pendapatku, beliau memintaku untuk pindah ke pesantren milik uwa di kota udang. Padahal, masa studiku hanya tinggal satu tahun lagi. Alasan finansial, begitu yang ayah ungkapkan. Usaha sampingan ayah sepertinya harus gulung tikar, sementara gaji ayah sebagai seorang PNS tak cukup untuk membiayai sekolahku dan dua adik kandungku di sebuah pesantren modern yang berbeda. Belum lagi, ayah masih harus membiayai tiga adik kandungnya yang masih kuliah. Maklum, ayah adalah sulung dari 13 bersaudara dan baru ayah saja yang bisa dikatakan sukses.
Dengan berat hati, demi baktiku pada orang tua, aku turuti keinginan ayah. Pikiranku kalut, hingga tak sempat berpamitan pada Ara. Atau sekedar say goodbye…bagaimanapun juga, kami pernah berteman baik.
Walau terhitung hanya 8 bulan tercatat sebagai siswa kelas 3 Aliyah di sekolah yang baru, alhamdulillah, aku bisa memberikan kenang-kenangan dua buah piala kebanggan untuk sekolah ini. Aku, yang kala itu, sebenarnya siswa kelas 3 aliayah. Namun karena postur tubuhku yang mungil, masih bisa mengelabui mata dewan juri kontes pidato bahasa inggris antar sekolah di tingkat kecamatan dan kabupaten. Agaknya, bagian ini tidak perlu kuceritakan panjang lebar ya, malu!
Singkat cerita, tiba waktu kelulusan. Aku dihadapkan pada berbagai pilihan jurusan di perguruan tinggi. Kalau mengikuti keinginan, jujur, aku ingin menjadi perawat. Namun apa daya, biaya kuliah di sekolah keperawatan sepertinya mustahil dapat terpenuhi.       
Mataku terus menelusuri daftar nama jurusan pada kampus negeri yang kudambakan di kota kembang. Entah mengapa, mataku langsung tertuju pada jurusan bahasa dan sastra inggris. Sejenak aku teringat Ara…Sedang apakah kamu disana??
Empat tahun berlalu, alhamdulillah aku dapat menyelesaikan kuliah tepat waktu dengan nilai cukup memuaskan. Agar terus terasah naluri ke-bahasa inggrisanku, selama kuliah aku pernah melanglang buana ke kampung inggris, Pare, sebuah desa di kabupaten Kediri, Jawa Timur. Menjadi seorang guide dikala liburan panjang tiba, bukan lagi hal asing bagiku. Aku juga menjadi staf pengajar di sebuah lembaga kursus Islami yang cukup terkenal di kota kembang. Berbekal beberapa pengalaman mengajarku, ditambah dengan nilai yang cukup memuaskan, tahun 2006, aku diterima sebagai asisten dosen di sebuah perguruan tinggi swasta di kota nanas, kampung halamanku. Betapa senangnya, terlebih bagi ayah dan ibuku.
Setelah menikah, aku pindah ke kota angin, tempat suamiku bertugas. Satu tahun kemudian, lahirlah jagoanku. Bersamaan dengan itu, akupun diterima sebagai staf pengajar bahasa inggris di sebuah sekolah menengah atas di kota ini. Seiring dengan perkembangan zaman, bahasa inggris dan komputer menjadi kemampuan utama yang diperlukan. Berawal dari banyaknya permintaan, maka, kucoba membuka kursus bahasa inggris untuk tingkat SD,SMP,SMA dan Umum…hasilnya, alhamdulillah tak pernah sepi dari peminat.
Dalam syukurku, kupanjatkan doa untuk sahabatku, Ara. Walau aku tak pernah tahu dimana kamu kini berada. Semoga kamu selalu sehat, bahagia dan dalam lindungan Alloh Yang Maha Kuasa. Kata-katamu yang mungkin tidak pernah kamu sadari -juga aku- menjadi tamparan keras bagiku untuk bangkit dan membuktikan bahwa aku bisa!!! Semoga ilmu yang pernah kamu tularkan untukku, menjadi amal jariyyah yang terus mengalir sampai akhir hayat. Terima kasih atas semua kebaikan yang pernah kamu berikan untuku, hanya Alloh yang dapat membalasnya.

Dilatasi Memory, penghujung tahun 2016






























































Dear Allah

JUST A MATTER OF TIME

Oleh : Dhevi Fitriyani

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu : wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak, dan sawah ladang. Inilah kesenangan hidup di dunia; dan disisi Allah lah tempat kembali yang baik (surga).” (QS. Ali Imran : 14)

          Anak adalah salah satu perhiasan dunia. Walaupun kehadiran anak bukanlah segalanya dalam kehidupan, namun anugerah anak dapat menjadi penentu kelak di yaumil hisab: surga atau neraka. Tergantung amal yang sudah dilakukan ketika di dunia.

Kegelisahan dan Penghianatan
          Tidak ada niatan sedikitpun untuk menunda memiliki keturunan. Namun kiranya Allah berkehendak lain. Dia menguji kami dari arah ini. Karena jika direnungi, alhamdulillah tidak ada yang kurang dalam kehidupan kami. Keluarga yang sekufu, Pekerjaan yang mapan, rumah dan kendaraan pribadi semuanya sudah kami miliki.
Namun tunggu punya tunggu, setahun pernikahan sudah berlalu, keturunan yang kami nantikan belum juga terlihat tanda-tandanya. Kamipun melakukan serangkaian pemeriksaan. Dan alhamdulillah  hasilnya kami dinyatakan sehat. Kehidupanpun berjalan seperti biasanya. Kami larut dalam kesibukan pekerjaan masing-masing.
Dua tahun berlalu, kehampaan itu semakin terasa seiring dengan pertanyaan keluarga, sahabat, tetangga dan rekan kerja, “kapan nih punya momongan?”. Dilain waktu pertanyaan lain muncul, “ikut KB ya? Kok belum hamil juga?”, bug!! Rasanya ada yang menohok dalam dada. Belum lagi kalimat-kalimat yang mampir di telinga suamiku, “lo laki bukan sih? Kok bini lo belon juga bunting?”, ah…kalimat yang mungkin biasa bagi yang lain, tapi menyayat bagi kami, terutama aku.
Ya, aku yang sering meneteskan air mata bahkan nangis bombay, terlebih jika tamu bulanan sedang datang. Aku yang sering meninggalkan sesuap nasi demi membenamkan isakku dalam bantal. Aku yang sering menghabiskan hari-hari membayangkan masa depan tanpa keturunan. Dan aku juga yang sering mendesak mas Fahmi untuk sama-sama pergi memeriksakan ke dokter kandungan.
Kegelisahan mulai semakin sering menghampiri kami hingga keputusan untuk memeriksakan kembali menjadi pilihan. Kali ini dokter menyarankan saya untuk melakukan HSG sedangkan suami melakukan uji ketahanan sperma. Hasil HSG menunjukan jika saluran tuba sebelah kiriku dinyatakan non patent. Dokter mengatakan bahwa itu artinya terdapat sumbatan pada tuba sebelah kiriku. Kepala rasanya seperti digodam palu, kaki serasa tak berpijak. Lemas…
Untuk beberapa bulan  aku dirundung sendu. Sebagai wanita normal, rasanya aku hilang harapan untuk dapat memiliki kebahagiaan merasakan kehamilan, melahirkan dan memiliki anak dari rahimku sendiri. Aku menarik diri dari riuh kehidupan. Senyum dan keceriaanku pudar seiring dengan menyusutnya berat badanku. Bertubi-tubi kepahitan yang kujalani. Ditengah frustasiku memikirkan nasib diriku kedepan, suami terbuai dengan kisah asmara masa lalunya. Cinta lama yang yang belum kelar mulai terajut selepas reuni SMA dua bulan sebelumnya. Intensitas komunikasi mereka semakin lekat. Benarkah cinta suami hanya sebatas memiliki anak? Hingga ia tega mencampakkanku begitu saja. Ah…semakin aku mengira-ngira, semakin hilang kewarasanku. Dan akupun tumbang…
Untuk beberapa saat aku menenangkan diri di rumah orang tuaku. Kepalaku semakin terasa sakit, air mata menganak sungai. Aku mengurung diri dalam kesendirian dan kesedihan. Ya Allah, mengapa cobaan-Mu ini datang menimpaku secara bertubi-tubi? Mengapa Engkau berikan cobaan yang begitu berat untukku? Apakah Engkau tidak menyayangiku? lirih batinku.
Aku begitu rapuh hingga bisikan-bisikan setan selalu mengarahkanku untuk berburuk sangka. Beberapa kali suami datang memintaku untuk kembali ke rumah kami namun hatiku terlanjur sakit, menemuinyapun aku tak sudi. Aku semakin menghakimi diri sebagai wanita mandul!!
Hanya ayah dan ibu tempatku menumpahkan segalanya. Hanya dengan mereka aku mau berkomunikasi. Tak henti ayah memberikan kekuatan dari kisah kesabaran Nabi Zakaria untuk mendapatkan keturunan. Rengekan doa-doa yang ia pinta pada rabbnya tanpa kenal lelah “Robbi  habli min ladunka dzurriyyatan thoyibah, innaka sami’u du’a”. Ya Tuhanku , berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa”. (Q.S. Ali Imran ayat 38)
Beliau mengingatkanku untuk tidak berprasangka buruk pada Allah sebab Allah akan bertindak sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Begitu juga dengan ibu. Belaiannya mampu menguatkan setiap keterpurukanku, untaian katanya merangkum do’a bak oase ditengah gurun tandus, ada kekuatan dalam setiap rangkai ucapnya. Dan aku pasti terhipnotis. Walau aku tahu, tentu ia lebih sedih melampaui sedih yang kurasakan. Dan aku tahu, ada tetes di sudut matanya yang indah walau selalu senyum yang terpancar dari wajahnya.  “Ndo, kaget, kecewa dan merasa rapuh memang manusiawi. Tapi jangan terlalu berlarut sayang. Kamu berhak nak untuk menumpahkan segala rasa yang kau pendam, namun jangan berlebihan.  Karena Allah tidak suka terhadap sesuatu yang berlebihan”.
Setelah dua hari aku mengurung diri di kamar dengan makanan yang terpaksa masuk mulut karena suapan sang bunda, disertai dengan kisah kekuatan wanita-wanita tangguh di zaman Nabi, hari ini aku mulai beraktifitas diluar kamar. Aku menemani ibu mengiris bawang dan memotong sayur mayur di dapur. Kulihat pancaran gembira dari wajah ayah dan ibu.
“Ndo, Allah telah memberikan begitu banyak nikmat padamu, bahkan kenikmatannya tak dapat kau hitung dengan jarimu sendiri. Kenikmatan yang melekat dalam tubuhmu saja sudah tak terhitung jumlahnya. Tubuhmu sehat sempurna, nikmat udara yang dapat kau hirup juga gratis. Mata dapat meihat keindahan alam raya ini, tangan sempurna dapat menggenggam. Kaki yang dapat berjalan tanpa harus menggunakan alat bantu. Apakah Allah memintamu untuk membayar semua kenikmatan itu?”
Glek!! kutelan ludah, getir.
Dalam sujud panjang shalat dzuhur hari ini, air mataku kembali menganak sungai. Namun tangisan kali ini bukan tangisan kekecewaanku pada takdir yang Allah berikan, melainkan tangisan penyesalan dan rasa maluku pada rabbku yang telah memberikan segalanya yang kumiliki tanpa kupinta. Lalu, mengapa aku harus marah pada Sang Pemberi untuk satu hal saja yang tidak aku miliki? Mengapa aku selama ini hanya fokus pada keinginanku dan mengabaikan beribu kenikmatan yang telah kunikmati? Robbighfirlii...

Kehidupan Kedua
          Satu minggu berlalu, mas Fahmi kembali datang ke rumah orang tuaku dengan maksud menjemputku. Walau masih ada sepercik rasa benci, namun berkat kekuatan yang ayah dan ibu alirkan, kutemui juga lelaki yang kini masih sah menjadi suamiku.
          Kuambil posisi duduk bersebelahan dengan kursi mas Fahmi, tentu dengan kursi yang berbeda. Sengaja kulakukan agar aku bisa menetralisir rasaku, menyeimbangkan emosiku dan mengatur nafasku.
          Sedetik kemudian mas Fahmi tersungkur membenamkan kepalanya dalam pangkuanku seraya menangis sejadinya. “sungguh Fira, maafkan kesalahanku, maafkan aku…maafkan aku…aku khilaf, hukum aku sesukamu namun jangan kau tinggalkan aku. Aku semakin sadar ternyata aku tak dapat hidup tanpamu”. Semakin erat genggamannya menggenggam tanganku.
          Tak kuasa tumpah juga pertahananku. Bahuku berguncang menahan buncahan rasa. Kubelai rambutnya. Tak dapat kupungkiri aku juga tak dapat hidup tanpanya. Kualirkan maafku pada kekar bahunya yang berguncang. Untuk beberapa lama kami saling mengalirkan kekuatan dan kepercayaan.
          Selalu ada hikmah dibalik semua kejadian. Selepas badai dalam rumah tangga yang kami rasakan, Allah memberikan kenikmatan yang berlipat-lipat. Kami, terutama aku, tidak lagi menyesali takdir-Nya. Aku tidak lagi terlalu fokus pada keinginan satu titik yang belum juga kugapai, kucoba menjalani hidup yang Allah berikan dengan sepenuh kesyukuran, enjoy, happy…
          Kami merasakan kehidupan pernikahan seperti pertama kali bertemu. Mencoba menumbuhkan kembali benih-benih cinta yang pernah dirasakan di awal pernikahan. Menjalani dan menikmati kebersamaan dalam setiap kesempatan. Mencoba  membenambamkan kembali dalam kebersamaan sujud panjang di sepertiga malam, menguatkan kembali sedekah dan mengasah kembali keihlasan dalam setiap takdir yang diberikan dan tentu memaksimalkan ikhtiar.
Kami merajut kembali simpul-simpul kekuatan dalam shalat di awal waktu dan menghidupkan sunah rawatib. Lembaran-lembaran tilawah Al-Quran menjadi santapan kami, ribuan istighfar dan helaan dzikir menjadi desahan dalam setiap nafas kami serta menguatkan keyakinan sepenuh jiwa. Seperti yang ayah pernah bilang di suatu senja, “ndo, yakinlah bahwa suatu saat nanti kamu pasti menjadi seorang ibu dari bayi yang kamu lahirkan melalui rahim yang telah Allah sediakan dalam tubuhmu. Yakinlah, Allah telah mempersiapkannya untuk kalian. Hanya tinggal menunggu waktu”.

Senyuman Di Penghujung Pasrah
          Kami saling menguatkan untuk mencoba memulai kembali ikhtiar secara lahiriyah demi mendapatkan sang buah hati. Berbekal hasil HSG beberapa bulan kebelakang, dokter menyarankan aku untuk melakukan laparoskopi.
          “Alhamdulillah operasi berjalan lancar , tidak ada sesuatu yang harus dikhawatirkan, hanya sedikit perlengketan dan semua sudah kami diatasi. Mudah-mudahan dalam tiga bulan kedepan ibu dapat segera hamil”. Dokter menjelskan hasil laparoskopi yang kujalani lima hari yang lalu. “Alhamdulillah…” sontak kami ucapkan sebagai tanda rasa syukur. Tangan mas Fahmi menggenggam erat tanganku, kami saling menguatkan.
          Hari-hari berikutnya kami mulai menelan obat-obat penyubur yang dokter berikan. Tiga bulan berlalu, belum juga ada tanda-tanda akan hadirnya tanda garis dua dalam test pack yang diam-diam kugunakan setiap bulannya. Bukan karena tamu bulanan datang telat, tapi karena aku selalu penasaran walau relung hati yang lain mengatakan tetap negatif hasilnya.
          “ini jalan terakhir, kalau memang tetap kita tidak diamanahi Allah buah cinta darah daging kita, kita harus ikhlas. Karena kesungguhan untuk mendapatkan buah hati, kita pertaruhkan melalui program ini”. Ujarku ketika satu bulan yang lalu dokter menyarankan kami untuk melakukan program inseminasi.
          Serangkaian tes laboratorium kami jalanai. Suntik buserelin di perut selama dua minggu, dilanjutkan dua minggu suntik hormon sintetis untuk mematangkan sel telurku aku jalani dengan ikhlas.
          Tidak terbayang sebelumnya, aku harus menyuntik sendiri perutku selama satu bulan. Padahal, sebelumnya melihat jarum suntik saja aku takut. Penyuntikan dilakukan pada jam yang sama setiap harinya. Karena waktu penyuntikan harus konsisten setiap hari, aku harus menyuntik perutku ditengah-tengah jam mengajar, di mall, saat seminar dalam rangka tugas kantor dan kegiatan lainnya. Sungguh pengalaman luar biasa dalam hidupku. Tapi aku harus tetap enjoy dan ikhlas menjalaninya demi mendapatkan momongan.
          Hasil penyuntikan dipantau melalui tes darah setiap dua hari sekali untuk melihat perkembangan jumlah dan ukuran sel telur di dua minggu terakhir proses penyuntikan.
          Seperti biasa, dua hari sebelum perkiraan haid, tanpa sepengetahuan mas Fahmi aku diam-diam melakukan tes kehamilan di kamar mandi. Namun, ada yang berbeda kali ini. “Subhanallah…Alhamdulillah…” pekikku tertahan hingga membangunkan mas Fahmi.
          “ada apa de?”, tergopoh mas Fahmi menghampiri kamar mandi.
Kubuka pintu tak sabar. “mas….” Kupeluk suamiku erat.
          Masih dengan kehawatiran yang mendalam dia membelaiku. “ada apa de?”
          “lihat mas..” kusodorkan hasil test pack dengan hasil dua garis padanya.
          “apa ini maksudnya, de?” tanya suamiku tak mengerti.
          “positif mas… ini artinya kita akan segera memiliki anak” ujarku tak dapat menahan air mata bahagia.
          “ya allah…benarkah?”, ucap mas Fahmi dengan senyum dan raut kaget yang terpancar dari wajahnya.
Untuk beberapa saat kami saling berpelukan, erat, saling menguatkan, menangis dalam bahagia. Kulepas pelukannya.
“hari ini mas ijin dulu nggak masuk kantor ya? Aku udah nggak sabar pengen dapet kepastian dari dokter. Kita periksa di jadwal pagi yuk?” pintaku pada mas Fahmi.
“oke…demi buah cinta kita”, mas Fahmi mengerlingkan sebelah matanya dan memberikanku ciuman bertubi-tubi. “11 tahun penantian, semoga ini adalah jawaban atas do’a-do’a orang tua kita, orang-orang shaleh dan ikhtiar kita selama ini ya de”. Ujar mas Fahmi dengan ulas senyum yang tak pernah pudar.

Once Upon A Time…

HSG           = Histerosalpingografi
Laparoskopi         = Operasi di perut dengan sayatan kecil


Dear Mantan

DIARY BIRU
Dhevi Fitriyani

          “Bruk!!”
“Awww!!”, kuusap-usap kepalaku.
 Masih dengan rasa sakit yang tersisa, kucoba mencari benda yang menimpa kepalaku tadi. Dengan dahi mengeryit, mata menyipit serta ingatan yang melayang menuju moment 14 tahun silam, kucoba membuka lembar demi lembar diary biru itu.
Disampul depan terpampang fotoku dengan pose yang sedikit norak untuk ukuran anak jaman sekarang. Dengan kepala mengahadap ke kamera, tubuh sedikit menyerong serta satu jari diletakan dipipi. Sungguh, itu foto terbaikku saat itu. Tak kuasa aku tersenyum mengingatnya. Sementara fotomu terpampang disampul buku bagian belakang. Dengan latar gradasi warna pelangi dan taburan bintang, posemu tak jauh berbeda dengan poseku, hanya bedanya, tangan kananmu tetap tegap bertumpu diatas tangan kirimu. Ah…benar-benar pose yang sedang ngetren pada zamannya.
Terlihat jelas betapa tegangnya gayamu dalam foto itu. Kamu bilang, jika pengambilan gambarnya diulang berkali-kali sampai hampir saja kamu mengurungkan niat untuk difoto. Tapi demi aku, kamu rela mengikuti arahan kameramen genit di studio foto terbesar di kota kita. Saat itu, tak kuasa aku menahan senyum hingga terbahak lepas sementara kamu merengut. Setelah puas tertawa, kujawil pipimu gemas. Kau rangkul aku dan kita jalan bersama dengan tawa berderai.
Diary biru ditangaku masih tetap bersih dengan warna sedikit pudar dimakan usia. Aku hampir tak pernah menyentuh diary ini semenjak putus denganmu. Namun entah mengapa, moment libur panjang anak-anak di rumah orang tuakulah yang menuntunku ke tempat ini. Ya, tempat dimana terdapat sebuah lemari buku tua yang terletak di pojok kamarku ini. Nyaris tak pernah kusentuh, bukan tak ingin, namun tak sempat.

Mas Braga…lelaki yang pernah menjadi cinta monyetku. Lelaki pendiam namun memiliki sikap tegas, yang pernah mengisi hari-hari indahku di masa putih abu-abu. Masih ingatkah kamu betapa sering kita habiskan waktu bersama di atas batu pinggir danau. Kita bercerita banyak hal tentang teman-teman, guru bahkan anak baru yang pernah menyatakan cintanya padaku. Kamu cemberut, namun dengan tegas kukatakan bahwa hanya kamu satu-satunya dihatiku…ahhh gombal yang indah!!
Kamu menjadi spirit booster buatku. Semangat belajarku sering berada pada titik nadir dan kamu tak pernah bosan memompanya kembali. Pembawaanmu yang kalem, tenang, dewasa dan bersahaja, mampu membuatku tunduk pada nasihatmu yang selalu terasa menyejukan.  Mungkin itu sebabnya, aku selalu merasa nyaman disampingmu.
Ketika tiba waktu wisuda kelulusan SMA, tak dapat kupungkiri rasa sedih yang kurasakan. Kamu dan aku harus berpisah. Aku melanjutkan kuliah di kota pelajar sedangkan kamu, karena keterbatasan finansial orang tua, lebih memilih untuk bekerja dan melanjutkan kuliah mungkin dua tahun kedepan di kota metropolitan.
Jarak, tempat dan waktu kan menjadi teman setia yang memisahkan kita. Namun demi cita-cita dan masa depan yang cerah, kita hadapi dengan saling menguatkan. “perpisahan ini hanya sementara, kita akan disatukan dalam ikatan cinta yang halal dalam kesuksesan yang diraih setelah kita bahagiakan kedua orang tua kita. Kita harus kuat, kita harus sabar”. Kata-kata itulah yang menjadi penyemangat belajarku demi meraih cita dan cinta.
Hari-hari tanpamu, kucurahkan rasa rindu ini pada diary biru bergambarkan sekuntum bunga mawar merah. Dengan tulisan LOVE berbingkai hati di sudut kanan buku. Karikatur sepasang kekasih yang tengah saling berpelukan menambah romantisnya diary biru dalam genggamanku. Hanya dia yang sanggup mendengar gaungan rasa rindu yang membuncah padamu.
Awalnya, komunikasi  antara kamu dan aku masih dirasa lancar. Namun ditahun kedua, sepertinya tugas kuliah yang seakan tak ada hentinya mampu membuat intensitas komunikasi kita agak merenggang. Jujur, sebenarnya bukan itu satu-satunya alasanku menjaga jarak darimu. Hatiku mulai diranumi dengan kuncup-kuncup merah jambu pada lelaki yang setiap hari kutemui di ruang ekstrakulikuler kesenian. Dia yang telah mencuri hatiku, mengajaku melambung ke angkasa menikmati indahnya kebersamaan. Hingga membuat hayalku disela kesibukan kuliah hanya dipenuhi oleh Haris, si anak band. Lelaki yang mampu mengalihkan perhatianku darimu. Perhatian, keromantisan serta tampilan “macho” dengan rambut sebatas bahu, kulit putih bersih dan perawakan atletis, mampu meberikan semangat baru yang mulai redup.
Beberapa kali ku rejeck telepon darimu, bahkan membalas sms pun sebenarnya hal yang paling malas kulakukan. “maaf ya, tadi malem aku ketiduran, capek banget, tugas numpuk”. Itulah jurus pamungkas nan ampuh yang selalu kugunakan untuk membalas puluhan sms darimu yang penuh perhatian. Jika dulu aku yang biasanya marah ketika sehari saja tidak ada satupun sms darimu, namun kini perhatian itu menjadi hal yang memuakan bagiku. Dan lagi-lagi, kamu tidak marah. Hanya sebaris kata, “Gak apa-apa de, mas ngerti kok.”
          Hingga akhirnya aku tak sanggup lagi memendam rasa sebal atas perhatian yang kamu berikan untukku. Ironi memang, tapi itulah yang aku rasakan saat itu. Jauh dilubuk hatiku, akupun merasa aneh pada perasaanku ini, ada rasa bersalah terselip disana namun sepertinya aku tak bisa membohongi diri sendiri. Menjadi pendengar segudang aktifitasmu di tempatmu bekerja seolah menjadi moment membosankan bagiku. Sejak hatiku berpaling darimu, malas rasanya berlama-lama ngobrol di telepon. Komunikasi seakan hanya berjalan satu arah, karena aku memposisikan diri hanya sebagai pendengar.
          Malam itu, 8 September 2003, kuberanikan diri untuk mengatakannya padamu. “Mas, sepertinya kita harus break dulu, banyak projek kuliah yang harus aku selesaikan dan aku takut nggak bisa bagi perhatian sama kamu. Kita jalan masing-masing dulu ya.”
“Oh…” desismu tanpa dapat menyembunyikan keterkejutanmu. “sesibuk itukah kamu?” tanyanya kemudian. Satu pertanyaan menohok. “mmm..ya, aku takut tidak bisa membagi waktu.” Jawabku mencoba dibuat setenang mungkin, walau pada kenyataannya tetap saja terdengar kikuk. Hening….Tidak banyak kata yang terlontar darimu, hanya satu ungkapan dengan nada suara berat. Diawali dengan tarikan nafas panjang, lalu kamu bilang, “baiklah, kalau itu memang maumu dan itu membuat kamu nyaman. Aku akan mencintaimu dan selalu menunggumu.”
          Kala itu, ucapanmu tak begitu berarti bagiku, karena fikiranku sudah habis tertumpu pada dia si anak band. Padahal, bila dicerna lebih dalam, begitu bijaknya kamu. Sekalipun kamu masih mencintaiku, tak sedikitpun kamu memaksakan kehendakmu dan mendebatku mencari jawaban jujur atas pengkhianatanku.
Ternyata cintaku tak abadi bersama Haris. Kami sama-sama terlalu egois dan keras kepala. Aku mulai membandingkan kamu dan dia. Kamu yang penyabar, lemah lembut dan mampu memadamkam sifatku yang sering menggebu-gebu. Ah…ada rasa menyesal menyelusup dalam kalbu. Tapi nasi sudah menjadi bubur, waktu tak dapat terulang kembali. Lagi pula, kamu mungkin sudah punya penggantiku. Mungkin Tuhan sedang mengabulkan perkataanku tempo hari yang kugunakan sebagai senjata agar aku bisa putus dari kamu, aku ingin fokus belajar!
Baik Tuhan…akan kugunakan kesempatan yang  Kau berikan untuk benar-benar fokus merampungkan masa kuliahku tepat waktu. Tanpa harus bergulat dengan hati si merah jambu. Walau pada kenyataannya, Aldo, Doni dan Bastian pernah datang dan pergi menawarkan kebahagian untukku.
Dengan titel sarjana yang kuraih, aku mencoba peruntungan dengan bekerja di sebuah perusahaan asing di Jakarta. Mendengar nama ibu kota, dalam ingatanku sempat hilir mudik memori tentangmu, namun sekuat mungkin kutepis jauh-jauh. Seakan mustahil di kota sebesar Jakarta, aku bisa bertemu denganmu. Rasa gengsiku mengalahkan rasa penasaranku tentang kabarmu.  Namun, malam itu, selepas training sebagai karyawan baru di perusahaan asing tempatku bekerja, hujan lebat, jarum jam menunjukan pukul 09.00, keadaan jalan sudah mulai sepi. Aku terpaku berdiri termangu di halte bis sendirian menunggu taksi yang tak kunjung datang. Sementara di halte sebrang jalan, terdengar jelas derai tawa yang berkejaran dengan suara guntur dikeheningan malam keluar dari mulut para lelaki yang masih asyik nongkrong berkerumun. Entah apa yang mereka lakukan. Dalam kekalutan dan ketakutan, aku berusaha mencari nomor ponsel teman-temanku di Jakarta, barangkali saja ada yang mau berbaik hati menjemputku di sini. Mataku tertumpu pada namamu dan nomor ponsel yang entah masih aktif atau tidak. Sisi hatiku mengatakan pantang bagiku untuk menghubungimu lebih dulu. Namun sepertinya rasa takutku mengalahkan pertahanan tembok gengsi yang selama ini bersarang dihatiku.
 Ragu menyergap, namun keadaan yang semakin menecekam membuat kekuatanku terkumpul untuk menekan tombol nomor ponselmu. Terpaksa kusingkirkan sejenak keegoisanku, “Alhamdulillah masih aktif”, desisku. Dengan nada kalut campur takut kujelaskan keadaanku saat ini. Tanpa membuang waktu, kamu bersedia untuk menjemputku.
Setelah pertemuan malam itu, kami mulai rutin lagi menjadwalkan pertemuan-pertemuan berikutnya.  Entah untuk makan siang bersama atau hanya sekedar menghabiskan waktu luang berdua. Kita saling bertukar cerita tentang empat tahun menjalani hari-hari di kota yang berbeda.
Karena intensitas pertemuan yang berulang-ulang itulah kita semakin akrab. Hingga tanpa kita sadari, benih-benih cinta kembali tumbuh diantara kita. Hatiku meleleh..
Dua tahun dalam kebersamaan di kota Metropolitan, akhirnya kamu melamarku. Dua jagoan yang sehat, lucu dan menggemaskan kini telah hadir diantara kita, menambah kebahagiaan keluarga kecil kita.
Mas Braga…dari sekian langkah yang pernah kita lalui bersama, kaulah yang terbaik untukku. Hingga perpisahan kita tak mampu memisahkan dua hati yang pernah saling mengasihi. Dari sekian nama yang pernah berlabuh di hati ini, hanya kau yang mampu menggetarkan jiwa. Pun demikian denganmu. Setelah aku putuskan dirimu, ada deretan nama perempuan yang berhasil mencuri hatimu. Namun, Tuhan telah menakdirkan bagimu, bahwa akulah tulang rusukmu. Terima kasih telah memahamiku lahir dan batin. Aku berharap kamulah cinta pertama dan terakhirku. Semoga…